Social Icons

Friday, October 14, 2011

Hukum Adat


HUKUM KEKERABATAN
A.    OBYEK KHUSUS
Yang akan dibicarakan tersendiri di dalam baba ini ialah persoalan:
      I.        Bila dan sejauh manakah seorang anak (bayi) pada saat kelahirannya berhubungan dengan seorang wanita dan seseorang pria sebagai anak dengan ibu dan ayah;
    II.        Bagaimanakah sifat hubungan seseorang anak (bayi) pada saat kelahirannya dengan kelompok-kelompok wangsa dari ibu dan ayahnya;
  III.        Betapakah cara pemeliharaan seorang anak yang kematian orang tuanya(keduanya atau salah seorang) ;
  IV.        Bagaimanakah cara orang dengan suatu perbuatan hukum dapat menjalin hubungan-hubungan hukum berdasarkan keadaan sosial yang serupa dengan hubungan-hubungan kekerabatan biologis.



B.    HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUANYA.
1.            Pada perseorangan yang dirumuskan diatas diadakan pembedaan antara hubungan kekerabatan sebagai pengertian umum dan hubungan anak dengan orang tuanya sebagai hubungan khusus.
Hal ini perlu karena:
a.     Di dalam struktur patrilineal:wangsa-wangsa lbu mempunyai arti yang lain bagi si anak dari pada ibunya sendiri;
b.     Di dalam setruktur matrilineal wangsa-wangsa bapak mempunyai arti yang lain bagi si anak daripada anaknya sendiri;
c.     Berbagai hubungan (kewajiban alimentasi; hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan ,hubungan-hubungan pewarisan) terjalin dengan ibu selaku ibu atau dengan ayah selaku ayah, tidak selaku warga-warga terdekat.
2.            Anak yang lahir didalam perkawinan, beribu wanita yang melahirkan dan berayah pria suami ibunya, Penyebab kelahiran dia.Di dalam perumusan itu tersimpul penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi terhadap keadaan normal:
a.     Di sementara lingkungan hukum, anak di luar kawin beribu wanita tak kawin melahirkannya,sama halnya dengan anak yang beribu wanita yang melahirkannya di dalam perkawinan sah (Minahasa, Ambon<, Timor, Mentawai);
b.     Di wilanyah lain terdapat rasa benci  yang mendalam kepada ibu yang tidak menikah, beserta anaknya; mula-mula keduanya dikeluarkan dari persekutuan hukum, dibunuh (ditenggelamkan) atau diserahkan kepada Raja sebagai budak, jadi dipindahkan ke suasana orang-orang luar persekutuan hukum (mungkin karena rasa takut anak yang tidak didahului dengan upacara pernikahan).
3.    Tetapi berhubung dengan itu, baik dahulu maupun sekarang orang mengenal lembaga-lembaga yang bermaksud melepaskan ibu dan anaknya dari nasib anak yang malang itu:
a.     Kawin paksa dari pria dan wanita yang menunjukan sebagai orang yang menghamilkannya (tunangan ataupun bukan ).
Misal: rapat warga di sumatra-selatan misalnya dalam hal itu masih tetep menghukum pria dan wanita yang bersangkutan untuk kawin.
b.     Kawin daruikatan  : Kawinnya sembarang pria (misalnya kepala desa) dengan seorang wanita hamil, supanya kelahiran bayinya nanti terjadi di dalam lkatan perkawinan sah (jawa : “ nikah tambelan “ : Bugis : “potongan syirik” . penutup malu”).
4.            Karena sekarang ekskomunikasi dengan kekerasan itu sudah tidak lagi atau jarang terjadi (Nias), maka ibu dan anak itu di toleransikan; namun si anak tetap di kenal dengan nama ejekan : “ anak tak sah” , “astra” (bali), “haram jadah” (jawa), kecuali karena alasan-alasan tertentu dapat dilakukan perbuatan pengesahannya (Bali).
5.            Di minahasa, hubungan anak dengan pria tak kawin yang menurunkannya, adalah serupa dengan hubungan anak dengan ayahnya. Bila si anak memberikan kesangsian mengenai hubungan itu, maka ia memberikan hadiah (lilikur) kepada ibu anaknya (dalam hal merekatidak berdiam serumah).
6.            Bila seorang anak selama ikatan perkawinan dityrunkan oleh pria lain daripada yang telah nikah dengan ibunya, maka ayah anak tersebut menurut hukum adat  ialah pria yang nikah sah dengan ibunya, kecuali jika suami sah ini menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima:hal ini di mungkinkan di jawa.
7.            Menurut hukum adat rupanya tidak relevant, anak itu lahir berapa lama sesudah pelangsungan pernikahan. Hukum islam menentukan : anak yang sah di lahirkan lebih dari 6 bulan sesudah akad nikah  ketentuan ini barangkali di sans-sini  (tetapi jarang) berpengaruh kepada hukum adat. Yang pasti ialah bahwa ketentuan tersebt  tidak mengubah lembaga kawin  darurat di atas tadi.
8.            Anak yang lahir sesudah perkawinan putus , berayah suami dalam perkawinannya tersebut , bila ia dilahirkan  selama masa hamil. Waktu 4 tahun yang di tetapkan  oleh hukum islam tidak dioper oleh Hukum Adat.
9.            Anak –anak keturunan selir dikebelakangkan terhadap anak-anak keturunan istri utama dalam hak atas warisan dan hak atas derajat / martabat ayahnya.
10.         Akibat hukum anak dari hubungan anak-ayah dan anak ibu ialah :

v  Larangan kawin antara anak dan ayahnya perempuan, antara ibu  dan anaknya laki-laki di semua wilayah
v  Kewajiban alimentasi  dan hak untuk dipelihara secara timbal balik ; namun dari pada itu, pretensi dari kerabat unilateral dalam hal-hal tertentu dapat mengesampingkan kewajiban dan pretensi dari si ayah atau si ibu.
v  Jika sang ayah ada, maka ia harus selalu bertindak selaku wali dari anaknya perempuan pada upacara akad nikah yang dilakukan secara islam.
11. Hukum waris ab intestato antara orang tua dan anaknya lebih berdasar atas susunan kerabat daripada atas hubungan orangtua-anak , tetapi peraktek pembagian  (harta pencarian sendiri semasa hidup) menurut kenyataannya bayak menimbulkan perubahan dalam hal itu, misalnya untuk kepentingan hubungan seseorang ayah minang kabau dengan anaknya.
12. Penghapusan penanggalan  hubungan hukum antara orang tua dan anak dalam suatu perbuatan hukum, demikian pula pengusiran anak laki-laki ayahnya, kesemuanya itu formal mungkin di perbagai lingkungan hukum: Angkola = “mengaliplip”. Bali= “pepat mapiang”.
13. Menitipkan seorang anak kepada orang lain untuk dipelihara sebagai anak dipelihara sebagai anak piara adalh suatu cara yang disemua wilayah boleh di jalankan oleh orang tua untuk melaksanakan kewajibannya memberi nafkah kepada anaknya.
3. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELOMPOK-KELOMPOK KERABAT / WANGSANYA
1.    Yang masih memerlukan penyelidikan mendalam ialah persoalan : apakah seorang anak luar kawin yang didalam lingkungan hidupnya tetapi di nilai rendah sebagai “haram jadah” , karena ibu tak nikah bersama anaknya hampir-hampir tidak ditoleransi didalam peguyuban hidup itu, derajat hubungabnya dengan kelompok wangsa ibunya seperti anak sah:
a)    Di wilayah yang satu,anak luar kawin itu berada di luar kelompok kewangsaan (Rejang)
b)    Diwilayah yang lain , nampaknya dalam hal ini tidak ada pembedaan antara anak luar kawin dan anak sah (jawa) ; bila orang mengakui hubungan antara anak luarkawin dengan ayahnya, maka hal ini berlaku pula terhadap kelompok wangsanya.
2.    Di dalam sementara lingkungan hukum, hubungan antara kelompok wangsa ayah dan anak adalah sama belaka dengan hubungan kelompok wangsa ibu dengan anak yang bersangkutan ; ini terdapat didalam susunan/tertib parental.
Namun dalam pada itu harus dibedakan antara dua konfigurasi :
a.     Suku suku di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi Tengah yang mempertahankan stelsel parental tersebut karena :
1.    Adanya endogami (suatu kebiasaan kawin di dalam suku diwilayah kediaman sendiri.
2.    Sikap mengasingkan diri dari dunia luar
b.     Suku-suku bangsa yang tidak hidup di dalam ikatan genealogis yang besar, melainkan tersusun keluarga demi keluarga di dalam persekutuan-persekutuan hukum teritorial, seperti di Aceh,Jawa dan sebagainya.
3,   Di Kalimantan dan Sulawesi tampak adanya peralihan dari susunan parental yang terikat dalam kerangka persekutuan suku, kaum/bagian suku dan kerabat ke arah tertib parental dengan keluarga-keluarga selaku satu-satunya kesatuan sosial.
4,   Di beberapa lingkungan hukum lainnya terdapat tata-kewangsaan sosial yang bersifat patrinieal atau matrinieal. Ini berarti kelompok-kelompok kewangsaan dapat dikenal sebagai kesatuan sosial karena susunannya ke dalam dan kerena sebagai kebulatan berhubungan dengan tanah,rumah, benda-benda lain, dengan nama, gelar, pangkat adata dan sebagainya, tersusun berdasarkan prinsip keturunan yang khusus, sehingga hanya bermakna dan berkosekuensi bagi mereka yang:
-          Berasal dari bapak leleuhur bersama melalui garis/pancar laki-laki atau
-          Berasal dari ibu leluhur bersama melalui garis/pancar perempuan
Di kalangan banyak suku bangsa indonesia, asas tata-kewangsaan khusus menimbulkan penggolongan sosial yang jelas, sehingga dasar tunggal  dari tata-kewangsaan ialah clan matrilineal atau gens patrinieal ; masing-masing dapat mempertahankan kekhususannya terutama dengan jalan exogami. Hubungan sosial dari anak terhadap kelompok kewangsaan ibunya berbeda dengan hubungan sosialnya terhadap kelompok kewangsaan ayahnya:
-          Pada tertib matrineal, yang sosial terpenting bagi si anak ialah kelompok wangsa ibunya, sebab dengan mereka itulah si anak segera bertemu di dalam segala hubungan hidupnya : larangan kawin, exogami, berlaku di dalam kelompok tersebut.
-          Pada tertib patrilineal, gens si ayah memegang peranan terpenting pula.
Namun ini tidak berarti bahwa :
a.     Di alam kelompok matrilineal, bagian clan si ayah seakan-akan tanpa arti bagi si anak
b.     Di dalam susunan patrilineal, bagian gens si ibu seolah-olah tiada arti bagi si anak
5,   jadi msekipun yang terpenting dalam arti sosial di dalam masyarakat hanyalah satu di antara kedua kelompok kewangsaan khusus, namun bagi seorang anak, baik kelompok ayah maupun kelompok ibu yang tersusun secara khusus itu bernilai sosial, dengan catatan :
-          Yang mempunyai makna dan konsekuensi yang lebih mendalam di dalam susunan patrilineal ialah kelompok wangsa si ayah.
-          Sedangkan di dalam susunan matrilineal ialah kelompok wangsa si ibu.
6,   Namun adapula suku-suku bangsa Pribumi yang mengenal 2 jenis perkawinan:
-          Perkawinan jujur, yang mengakibatkan si anak masuk dalam bagian gens ayahnya.
-          Perkawinan ambil anak yang mengakibatkan si anak masuk dalam bagian gens ibunya.
7,   Ter haar berpendapat : jika perkawinan ambil anak itu hanya merupakan perkecualian, maka tata kewangsaan itu tetap bersifat patrilineal. Sebaliknya kalau perkawinan ambil anal itu menjadi kebiasaan, maka  hal ini dengan sendirinya akan menimbulkan tata-kewangsaan matrilineal.
8,   Kelompok wangsa baik dari si ayah maupun si ibu mempunyai arti sosial bagi si anak, namun salah satu adalah primer, sedang yang lain sangat sekunder.
9,   Suatu tata kewangsaan segi satu dapat mempunyai corak parental tertentu, bila :
a.     Exogami tidak ada/tidak lazim lagi
b.     Perkawinan di lingkungan bagian clan dibenarkan demi penghematan biaya
c.     Ada perkawinan jenis ketiga yang mengakibatkan si anak berkedudukan sama  terhadap kelompok wangsa ayahnya dan kelompok wangsa ibunya.
10, Di kalangan orang Semendo dan Rabang yang bertata-kewangsaan matrilineal, anak tertua bersma inti harta kekayaan kerabat/harta kekayaan keluarga memperthankan sistem matrilineal dengan jalan bentuk perkawinan yang dipilihnya.
11, Suatu masalah penting namun belum banyak diselidiki ialah persoalan: samapai dimanakah pemotongan ikatan-ikatan kewangsaan sebagai akaibat pendirian desa, berpebgaruh atas exogami.
4,         PEMELIHARAAN ANAK YATIM (-PIATU)
1.    Bila di dalam suatau keluarga orang tuanya tinggal seorang, sedang disitu masih ada anak-anak yang belum dewasa, maka yang selanjutnya melakukan kekuasaan orang tua di dalam suatu wilayah yang bertata-kewangsaan parental ialah orang tua yang masih tinggal itu, kecuali jika anak-anak tadi diserahkan kepada kelompok kerabat yang mati.
2.    Jika di dalam parental demikian itu kedua orang tuanya tidak ada lagi, maka yang wajib mengurusdan memelihara anak yatim adalah wangsa-wangsa(kerabat) terdekat dari salah satu di antara kedua belah kelompok yang berkesempatan/berkemampuan terbaik.
3.    Bagaimana penyelesaiannya yang konkrit dalam menghadapi kedua faktor: wangsa terdekat dan yang berkemampuan terbaik adalah urusan kerabat.
4.    Kalau di kalangan suatu suku bangsa bertata kewangsaan khusus, yang meninggal adalah salah satu orang tua yang tidak menyerahkan anak-anaknya ke dalam kekuasaan kepala kerabatnya sendiri, maka orang tua yang masih hidup itu melanjutkan sendiri “kekuasaan orang tua” di bawah naungan otoritas kerabatnya; jelasnya dalam hal ini yang meninggal ialah:
a.     Si ayah di mingkabau
b.     Si ibu yang melakukan perkawinan jujur di Batak, Lampung, Bali dan sebagainya.
5.    Apabila kehidupan keluarga menjadi lebih kokoh dari sediakala, akibatnya pengembaraan/ hal-hal lain, maka berkat situasi yang sudah berubah, adat tersebut di atas dapat dilanggar denga ketentuan penyimpangan.
6.    Kalau kedua orang tua meninggal, maka kekuasaan atas anak-anak pemeliharaan diri maupun harta bendanya di dalam tata-kewangsaan berkonsekuensi unilateral jatuh(menetap) di tangan kepala kerabat yang sudah menguasai seluruh keluarga.
5,         PENGAMBILAN/PENGANGKATAN ANAK
            Di atas telah di singgung bahwa berdasrkan keadaan sosial, dengan suatu perbuatan hukum oramg dapat mempengaruhi eksistensi hubungan-hubungan yang berlaku sebagai ikatan-ikatan kewangsaan biologis.
1.    Pertama hal itu terlihat pada perkawinan ambil anak.di dalam tata-kewangsaan patrilineal dengan kepala kerabat yang menguasai dan akan digantikan oleh warga-warga kerabat yang berwangsa dengannya menurut garis keturunan laki-laki, maka dengan suatu perkawinan jujur, kewangsaan biologis itu lewat si ibu dapat diberi kekuatan berlaku sosial, sehingga anak-anaknya nanti termasuk dalam kerabat.
2.    Adopsi yang terdapat merata di seluruh Nusantara ialah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar kedalam kerabat sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.

No comments:

 

Sample text

Sample Text

Download

Sample Text